Jumat siang, 7 November 2025. Di SMA Negeri 72 Jakarta, doa sedang bergema dari masjid sekolah. Lalu dua dentuman memecah udara, memecahkan kaca, dan mematahkan rasa aman yang selama ini dianggap utuh. Dalam hitungan detik, tempat suci berubah jadi kepanikan. Puluhan siswa luka-luka, dan Indonesia kembali dihadapkan pada satu kenyataan pahit: kita terlalu sibuk menjaga pagar sekolah, tapi lupa menjaga hati anak-anak di dalamnya.
Kronologi yang Mengoyak Rasa Aman
Sekitar pukul 12.15, dua ledakan mengguncang area masjid di kompleks sekolah Kelapa Gading. Ledakan pertama terjadi saat jamaah sedang bersiap mendengarkan khutbah Jumat, diikuti dentuman kedua yang lebih kuat dari luar masjid. Saksi mata menyebut suara keras itu membuat lantai bergetar, dinding bergetar, dan semua orang berlari keluar dengan ketakutan.
Dalam hitungan menit, polisi dan tim Gegana tiba di lokasi. Sekolah disterilkan, area sekitar dipasangi garis polisi, dan siswa dievakuasi ke lapangan terdekat. Laporan resmi menyebut 55 orang luka-luka, 29 di antaranya masih dirawat di rumah sakit hingga hari berikutnya. Pemerintah DKI Jakarta langsung menanggung semua biaya pengobatan korban dan menurunkan tim psikolog untuk penanganan trauma.
Pelaku Bukan Orang Asing: Siswa Sendiri
Polisi memastikan bahwa pelaku adalah siswa berusia 17 tahun di sekolah tersebut. Ia datang lebih awal ke area masjid dengan tas berisi bom rakitan sederhana. Ledakan terjadi ketika ia memicunya di tengah jamaah. Barang bukti menunjukkan bahan peledak rakitan dari bahan kimia dasar dan logam kecil yang mudah diperoleh.
Motif sementara? Dendam akibat perundungan (bullying). Teman-temannya mengaku pelaku sering diejek dan dijauhi. Ia kerap menyendiri, jarang berbicara, dan menunjukkan perubahan sikap drastis beberapa minggu terakhir. Polisi belum menemukan indikasi keterlibatan jaringan terorisme, namun pengaruh ide ekstrem dari media sosial tetap diselidiki.
Ledakan yang Berasal dari Dalam Diri
Kasus SMA 72 bukan sekadar soal ledakan fisik. Ini adalah metafora paling kejam tentang bagaimana emosi yang ditekan bisa meledak dalam bentuk paling tragis. Sekolah sering bangga dengan prestasi akademik, tapi gagal mengenali anak-anak yang terluka secara emosional. Sementara itu, korban bullying terus menumpuk, dan sistem pendampingan mental hanya jadi formalitas.
Pelaku mungkin menyiapkan bom di rumah, tapi bahan bakarnya disediakan oleh lingkungan yang tidak peduli. Setiap ejekan, tatapan merendahkan, dan candaan yang dianggap lucu — semua jadi percikan yang menyalakan sumbu kemarahan.
Pemerintah Bergerak, Tapi Harus Lebih Dalam
Respons cepat datang dari pemerintah. Gubernur DKI Jakarta menegaskan akan memperketat pengawasan keamanan di seluruh sekolah dan memperluas program anti-bullying. Kementerian Pendidikan juga menginstruksikan pemeriksaan keamanan tambahan dan pelatihan tanggap darurat untuk seluruh sekolah negeri di ibu kota.
Tapi persoalan ini tak bisa diselesaikan dengan razia tas atau kamera CCTV tambahan. Kita butuh revolusi empati di dunia pendidikan. Sekolah harus berhenti melihat siswa hanya sebagai angka ujian. Mereka adalah manusia yang bisa rapuh, marah, kecewa, dan butuh ruang aman untuk didengar.
Pelajaran yang Harus Kita Catat
- Bullying Bukan Bercanda.
Satu ejekan bisa jadi luka seumur hidup. Budaya bercanda yang merendahkan harus dihentikan sebelum menjadi kebiasaan beracun. - Sekolah Harus Jadi Ruang Aman, Bukan Medan Tekanan.
Setiap guru wajib tahu siapa siswanya — bukan hanya nilai, tapi juga suasana hatinya. Tanda-tanda kesepian, murung, atau menarik diri tidak boleh diabaikan. - Kesehatan Mental = Kesehatan Nasional.
Setiap sekolah harus punya psikolog tetap. Guru BK tidak cukup. Siswa perlu ruang aman untuk bicara tanpa takut dihakimi. - Edukasi Literasi Emosi Sejak Dini.
Anak-anak perlu diajarkan mengenali emosi mereka, cara mengelola kemarahan, dan kapan harus minta bantuan. - Orang Tua, Jangan Sibuk Hanya di Hasil.
Anak-anak tidak butuh orang tua yang hanya memeriksa nilai, tapi juga yang mau mendengarkan cerita paling kecil sekalipun.
Analisis: Kita Sedang Kehilangan Sentuhan Kemanusiaan
Tragedi SMA 72 Jakarta adalah hasil dari sistem yang menganggap “diam itu baik-baik saja”. Kita menciptakan sekolah dengan pagar tinggi, tapi lupa membangun jembatan antara hati murid dan guru. Ketika anak merasa tidak punya tempat untuk bicara, dunia kecilnya runtuh — dan kadang ia memilih meruntuhkan dunia di sekitarnya juga.
Sebagai bangsa, kita sedang belajar bahwa bahaya terbesar di sekolah bukan hanya narkoba, geng motor, atau radikalisme, tapi kekosongan emosional. Pelaku bukan monster, ia adalah cermin dari ribuan remaja yang merasa tidak dilihat, tidak diterima, dan akhirnya tidak mampu menahan rasa sakitnya sendiri.
Penutup: Jangan Tunggu Ledakan Berikutnya
Kita bisa memperbaiki gedung yang retak, tapi luka psikologis para siswa butuh waktu jauh lebih lama untuk sembuh. Ledakan di SMA 72 adalah peringatan keras bahwa kita harus mengubah cara kita mendidik dan mendengar.
Mulai sekarang, tanyakan pada anak atau muridmu — “Kamu baik-baik saja?” — bukan sekadar basa-basi, tapi dengan niat sungguh untuk mendengarkan. Karena di balik senyum seorang siswa, mungkin ada suara hati yang nyaris meledak menunggu untuk didengar.
